Sabtu, 10 November 2012

Membiasakan Anak Cuci Tangan

www.ayahbunda.co.idMenyabuni tangan dan membersihkannya di bawah air mengalir adalah cara yang sangat efektif untuk mencegah penularan penyakit. Penelitian menunjukkan, anak yang mencuci tangannya 4 kali sehari selama sekolah akan berkurang 24% hari dia absen karena sakit flu dan penyakit saluran pernapasan lain, dan berkurang 51% hari dia absen terkait kuman penyakit perut.

Orangtua sebaiknya:
Membiasakan anak untuk tidak cepat-cepat ketika ia mencuci tangannya. Lakukan cuci tangan selama 20 detik. Caranya antara lain dengan menggunakan timer atau sambil menyanyikan lagu tentang cuci tangan.
  • Perlihatkan keseharian Anda yang selalu mencuci tangan sebelum makan dan sesudah dari kamar kecil. Ajak anak melakukannya bersama Anda. Tunjukkan tahap-tahap mencuci tangan yang baik dan benar.
  • Sediakan wastafel untuk balita, sehingga dia dapat dengan mudah cuci tangan dengan benar.
  • Puji setiap kali anak mencuci tangannya, katakan bahwa ia telah melakukan hal baik untuk kesehatannya.
  • Jelaskan proses penularan penyakit melalui kontak fisik, dan bagaimana cuci tangan dapat menghalangi penyebaran kuman. Manfaatkan leaflet atau gambar-gambar kartun yang memperlihatkan proses dan manfaat cuci tangan sehingga anak mendapat gambaran yang lebih jelas.
  • Simulasikan penyebaran kuman. Gunakan gel yang tidak kasat mata dan akan bersinar di bawah lampu UV sebagai peran pengganti untuk bakteri penyebab sakit. Oleskan di mainan anak. Setelah beberapa waktu, tunjukkan dengan menggunakan alat yang mempunyai lampu UV untuk memperlihatkan ‘bakteri’ yang telah menyebar ke tangan, leher, punggung dan hidung anak.

Rabu, 31 Oktober 2012

5 Jurus Membiasakan Anak Membaca


Anak-anak adalah sosok yang haus pengetahuan. Rasa ingin tahunya adalah dahaga yang tidak berkesudahan. Rasa penasaran selalu mendorongnya untuk mengeksplorasi apa saja yang ada dihadapannya. Itulah mengapa kita selalu melihat anak-anak memainkan apa saja yang ada dihadapannya.
Keadaan di atas adalah kesempatan emas untuk mengisi rasa ingin tahu dengan pengetahuan-pengetahuan. Anak-anak akan sangat senang ketika dirinya ditunjukan sesuatu yang baru. Nah, ini juga menjadi kesempatan untuk menanamkan kebiasan membaca. Jika kebiasaan ini sudah tertanam dengan baik, kelak kita tidak perlu bersusah payah mengarahkan untuk membaca. Nah, bagaimana kita menanamkan kebiasaan membaca.
Jurus ke-1. Sediakan buku.
Bagaimana mungkin mau membaca jika tidak ada buku? Ini tentu langkah mutlak. Sesedikit apapun, kita harus memiliki buku sehingga anak-anak terbiasa dengah kehadiran buku di sekitarnya. Buku bisa didapat dari mana saja. Menyewa di penyewaan buku, beli baru maupun bekas dipasar buku, meminjam ke perpustakaan pemerintah, atau tukar pinjam dengan teman. Sebisa mungkin sediakan buku di mana pun berada. Tentu buku yang sesuai. Misalnya di dapur kita bisa menyediakan buku-buku resep masakan atau minuman, kesehatan , dan gizi. Di kamar si anak sediakan buku-buku ilmu pengetahuan maupun fiksi. Dan lain sebagainya.
Jurus ke-2. Biasakan membaca di depan anak.
Secara demonstratif, sering-seringlah membaca di hadapan anak. Ini penting untuk mulai membiasakan anak melihat orang membaca. Kehadiran seorang pembaca di hadapannya secara perlahan akan menerbitkan rasa ingin tahu tentang aktifitas membaca. Cepat atau lambat, ia akan meniru. Tentu setelah tersedia buku yang sesuai dengan usia si anak. Tetapi inti dari semuanya adalah jangan menyuruh anak membaca kalau kita sendiri tidak pernah membaca.
Jurus ke-3. Membacakan buku.
Dongeng sebelum tidur adalah metode klasik mencerdaskan daya pikir dan imaginasi anak-anak. Tidak semua orang bisa mendongeng. Jalan keluarnya adalah bacakan buku sebagai pengantar tidur si anak. Setelah beberapa kali orangtua membacakan buku, ketika si anak sudah mulai bisa membaca, ajaklah si anak untuk ikut membaca atau buatlah sebuah permainan yang aturannya adalah saling membacakan buku sehingga kebiasaan membaca ini tidak menjadi searah dari orangtua saja. Melainkan si anak juga terlibat aktif membacakan buku untuk orangtuanya. Setelah dia membaca, berikan pujian yang wajar untuk memotivasi si anak membaca pada waktu-waktu berikutnya.
Jurus ke-4. Kurangi kebiasaan menonton TV.
Kualitas tontonan TV saat ini benar-benar telah merosot. Jika filmnya bagus, iklan yang menyelip di antara film-film tersebut bisa lebih buruk. Selain itu, konon pergerakan tv dan film ke iklan berakibat mengurangi kemampuan konsentrasi si anak. Bayangkan, lagi asyik-asyiknya si anak berkonsentrasi, tiba-tiba menyelip iklan. Kalau filmnya menarik, selipan iklannya tentu makin banyak. Jadi, batasi menonton TV sekarang juga!! Sediakan buku-buku menarik dan ajaklah si anak membaca bersama. Jika perlu, buatlah game yang mengacu dari buku-buku yang ada. Misalnya ada buku tentang burung, buatlah game menggambar burung dan menceritakan tentang seluk beluk burungnya. Intinya, orangtua jaman sekarang harus kreatif. Nggak cuma menyuruh-nyuruh si anak membaca.
Jurus ke-5. Libatkan si anak dalam memilih buku.
Dalam memilih buku, seringkali orangtua merasa lebih tahu dari si anak. Keangkuhan sudah harus dikikis. Hargai pendapat si anak dengan cara melibatkannya dalam kegiatan pemilihan buku yang akan dibeli. Selain itu, ini akan merekatkan hubungan orangtua dengan anak dan orangtua akan lebih mudah mengawasi kualitas bacaan si anak.

Rabu, 24 Oktober 2012

Cara Bijak Memarahi Anak

Sebagaimana senyuman yang damai, kadang kita harus memarahi anak. Ini bukan berarti kita meninggalkan kelembutan, sebab memarahi dan sikap lemah-lembut bukanlah dua hal yang bertentangan. Lemah-lembut merupakan kualitas sikap, sebagai sifat dari apa yang kita lakukan. Sedangkan memarahi -bukan marah-merupakan tindakan. Orang bisa saja bersikap kasar, meskipun dia sedang bermesraan dengan istrinya.
Persoalan kemudian, kita acapkali tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi kita perlu terus-menerus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak, utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita akan tidak efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan "kenakalannya".
Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka.
Selebihnya, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan: Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan Ancaman
Anak-anak belajar dari kita. Mereka suka mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dari kita, mereka juga belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan "keakuannya".
Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh luar yang bisa mengubah perilaku anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang sangat akrab dengan anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara bicara, bertindak, mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan, tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Ia hanya menirukan apa yang didengar.
Perbincangan kita kali ini bukanlah tentang peniruan. Karena itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana ancaman kepada anak, acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuat anak belajar berontak dan menentang. Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka. Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.
Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pertama, Adalah buruk memarahi tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan.
Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu, hendaknya menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik dan bersabar bila belum bisa memenuhinya.
Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan anak konsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu. Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukan ancaman. Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam.
Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali mudah kehilangan kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk konsisten.
"Ibu / Bapak Sudah Bilang Berkali-kali."
Perilaku yang menjengkelkan memang lebih mudah diingat, lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk segera bertindak. Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong kita untuk memberi komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat mengesankan. Konsumen yang kecewa pada suatu produk, akan segera menggerutu ke sana kemari, meski kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas cenderung akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua dan anak juga demikian. Orangtua mudah ingat perilaku negatif anak, sementara anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya.
Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, "Ibu / Bapak sudah berkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau mendengarkan."
Ungkapan ini memang efektif untuk membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk. Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri (self esteem) anak akan lemah. Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orangtua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akan semakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan susah dinasehati.
Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau yang sejenis dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita masih buruk.
Jangan Cela Dirinya, Cukup Perilakunya Saja
Suatu saat, kira-kira jam setengah dua dini hari seorang anak saya bangun dari tidurnya. Ia kemudian beranjak dan mengajak adiknya yang masih bayi bercanda, padahal adiknya baru saja tertidur. Sebagaimana ibunya, saya juga sempat emosi. Hampir-hampir saya tidak dapat mengendalikan emosi, tetapi saya segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anak saya merupakan cerminan dari dari rasa sayangnya kepada adik. Nah, apa yang terjadi jika saya mencela anak saya? Apalagi kalau saya memelototi dan menghardiknya keras-keras, iktikad baik itu bisa berubah menjadi kemarahan sehingga anak justru mengembangkan permusuhan kepada adiknya. Ia bisa belajar membenci adiknya.
Apa yang saya ceritakan hanyalah sekedar contoh. Tidak jarang anak menampakkan perilaku "negatif", padahal ia tidak bermaksud demikian. Suatu ketika, pulang dari play-group anak saya berkata, "Bapak kurang ajar." Setelah saya tanya maksudnya, ternyata dia tidak mengerti makna kurang ajar. Ia mengatakan, "Kurang ajar itu ya main-main, sembunyi-sembunyian."
Kita sangat mudah keliru menangkap maksud anak. Kita gampang terjebak dengan apa yang kita lihat. Karenanya kita perlu belajar untuk lebih terkendali dalam menilai anak. Jangan sampai terjadi anak punya maksud baik, tetapi justru kita cela dirinya sehingga justru mematikan inisiatif-insiatif positifnya. Bahkan andaikan ia memang melakukan tindakan yang negatif, dan ia tahu tindakannya kurang baik, yang kita perlukan adalah menunjukkan bahwa ia seharusnya bertindak positif. Kita luruskan perilakunya. Bukan mencela dirinya. Sibuk mencela anak membuat kita lupa untuk bertanya, "Kenapa anak saya berbuat demikian?" Di samping itu, celaan pada diri -dan bukan pada tindakan-bisa melemahkan citra diri, harga diri dan percaya diri anak. Pada gilirannya, anak memiliki motivasi yang rapuh.
Sebagian kita merasa tidak merasa mencela anak, padahal ucapan kita menyudutkan anak. Misalnya, "Kamu kenapa tidak mau mendengar nasehat bapak? Heh? Kamu selalu saja ngeyel."
Pada ucapan ini, fokus kemarahan kita adalah anak sebagaimana kita tunjukkan dengan kata kamu. Bukan tindakannya yang salah.
Jangan Katakan "Jangan"
Barangkali tidak ada kata yang lebih sering diucapkan oleh orangtua pada anak melebihi kata "jangan". Kita menggunakan kata jangan begitu melihat anak melakukan tindakan yang kurang kita sukai. Kita juga menggunakan kata jangan, bahkan di saat kita mengharap anak melakukan yang lain. Padahal kata jangan tidak membuat mudah mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, anak sulit memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua bisa semakin jengkel karena merasa nasehatnya tidak didengar anak. Orangtua merasa anaknya suka ngeyel (kepala batu, orang Bugis bilang).
Lalu, apakah kita tidak boleh memberi larangan? Saya tidak dapat membayangkan betapa hancurnya sebuah dunia tanpa ada larangan sama sekali. Begitu pun keluarga. jangan katakan jangan pada saat ia sedang melakukan kesalahan. Tunjukkanlah apa yang seharusnya dilakukan. Atau bersabarlah sampai ia menyelesaikan maksudnya, Kalau kita tidak mau anak bermain pasir di teras, katakanlah, "Nak, main pasirnya di teras saja, ya?" Singkat, padat, jelas dan positif. Bukan, "Ayo, jangan main pasir di teras. Saya pukul kamu nanti."
Kapan sebaiknya kita sampaikan larangan? Saat terbaik adalah ketika anak sedang akrab dengan orangtua. Dalam suasana netral, larangan yang kita berikan pada anak akan lebih efektif. Anak lebih mudah memahami. Mereka bisa menerimanya sebagai aturan. Bukan menganggapnya sebagai serangan kepada dirinya.